Gairah
menerapkan syariat Islam bermunculan. Perbedaan penafsiran masih berlanjut.
PENDULUM gairah
sedang berayun ke kanan. Sebagian masyarakat di kantong-kantong muslim di
Indonesia seperti Sulawesi Selatan, Riau, dan Jawa Barat, menghendaki pemberlakuan
syariat Islam di daerahnya. Sebagian aspirasi itu masih sebatas deklarasi dan
pernyataan di panggung media pekan-pekan ini.
Di Sulawesi Selatan, misalnya, belakangan ini keinginan menegakkan
syariat Islam terus dikumandangkan warga Makassar. Bahkan, fraksi-fraksi di DPRD Sulawesi Selatan, bersama Komite Persiapan Penegakan
Syariat Islam (KPPSI), menyatakan setuju dengan aspirasi warganya untuk memberlakukan
syariat Islam di sana. Meskipun demikian, kesepakatan fraksi dan KPPSI yang terjadi
pertengahan April lalu itu belum mendapatkan tanggapan resmi DPRD.
Apakah fakta itu indikasi adanya kerinduan sebagian masyarakat Indonesia yang
mayoritas muslim terhadap pemberlakuan syariat Islam? Belum tentu. Yang jelas,
gelombang aspirasi itu muncul ketika pemerintah mencanangkan pemberlakuan
otonomi daerah dalam waktu dekat.
Yang mendesak adalah pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Otonomi
Khusus tentang Nanggroe Aceh Darussalam di DPR. Sebab, seperti diamanatkan Ketetapan
MPR Nomor IV Tahun 1999, Nanggroe harus siap menjadi undang-undang pada Mei
ini. RUU itu untuk memenuhi tuntutan sebagian masyarakat Aceh tentang otonomi
khusus, termasuk pemberlakuan syariat Islam.
Aceh adalah daerah di ujung barat Indonesia yang berpenduduk
mayoritas muslim. Wilayah itu digerogoti keinginan sebagian warganya yang
tergabung dalam Gerakan Aceh Merdeka untuk memerdekakan diri. Namun, sebagian
yang lain menghendaki pembentukan Nanggroe tersebut, kata dalam bahasa Aceh
yang berarti negara.
Pemberlakuan syariat Islam di Aceh sebetulnya tidak semudah membalik
telapak tangan. Mayoritas penduduk Aceh memang muslim, tapi masyarakatnya tetaplah
majemuk. Apalagi secara hukum, Aceh tetaplah bagian dari Indonesia, yang
memakai hukum positif. Pemberlakuan syariat Islam di Aceh akan menimbulkan
problem berlapis-lapis. Salah satunya, apakah syariat Islam berlaku bagi
nonmuslim.
Soal itu memang muncul dan menjadi bahan perdebatan seru dalam rapat
pembahasan RUU di DPR. Ada yang berpendapat bahwa syariat Islam diberlakukan
untuk semua orang, termasuk nonmuslim. Pendapat itu dilontarkan K.H. Yusuf
Muhammad, Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, mewakili Islam tradisional.
Pendapatnya didasarkan pada prinsip bahwa hukum Islam berangkat dari sistem nilai
universal.
Selain itu, ada tiga prinsip dalam syariat Islam, yaitu keadilan,
musyawarah, dan kesetaraan. Hal-hal yang menjadi substansi hukum Islam harus
dielaborasi dalam peraturan pelaksanaan. Dalam pandangan Yusuf, dengan cara ini
penerapan hukum Islam akan diterima oleh kaum nonmuslim. "Banyak yang
nggak tahu kalau Islam itu melindungi umat yang lain dalam sistem hukum
Islam," kata Yusuf Muhammad.
Pendapat yang berseberangan diajukan Prof. Tgk. H. Baihaqi, anggota
Fraksi Partai Persatuan Pembangunan dan dosen Institut Agama Islam Sunan Gunung
Jati, Bandung.
Menurut dia, syariat Islam di Aceh hanya diberlakukan bagi warga muslim,
sedangkan warga non muslim akan berada di bawah ketentuan hukum positif. Walau
begitu, hukum positif itu nantinya akan diatur dengan jelas dalam qaanun
(undang-undang). "Dengan kejelasan dalam qaanun, tidak akan ada
kecemburuan antarwarga negara dalam persoalan hukum," kata Baihaqi.
Pembahasan RUU Nanggroe Aceh Darussalam memang belum tuntas. Di luar
mereka yang serius membahasnya di Gedung DPR, ada suara yang berbeda di luar
parlemen. Luthfi Assyaukanie, dosen Universitas Paramadina Mulya, tidak setuju
pemberlakuan syariat Islam secara formal di Aceh. "Bila syariat Islam
ingin diterapkan, ambil moralitas dan semangatnya," kata Luthfi. Menurut
dia, penerapan syariat Islam secara formal lengkap dengan pasal dan hukum-hukum
masa lalu tidaklah tepat. "Hal itu akan mengakibatkan benturan dengan
prinsip masyarakat modern, seperti hak asasi manusia," kata Luthfi.
Penerapan syariat Islam dengan mempertimbangkan hukum positif yang
berlaku di masyarakat, menurut Luthfi, juga dilakukan Nabi Muhammad.
"Hukum Islam pada zaman Nabi Muhammad merupakan refleksi dinamika
masyarakat yang sifatnya temporal dan lokal," kata Luthfi. Karena itu, Nabi
Muhammad, menurut Luthfi, lebih memegang substansi hukum daripada aspek formal
hukum. Jadi, mengikuti jejak Nabi pun harus pintar-pintar mengambil
substansinya.
Sumber : TEMPO, 6 MEI 2001 (Hal: 46)