Sebuah padepokan di Jawa Timur menjalankan salat dalam bahasa Indonesia. Majelis Ulama menjatuhkan fatwa haram.
TATO kuda tertatah jelas di lengan kirinya. Dalam keseharian, ia
sengaja tampil "beda" untuk ukuran pengasuh pondok: kaus terbungkus
rompi dan bercelana jins. Padahal, ia mengasuh sebuah padepokan
spiritual di Lawang, Malang, Jawa Timur, bernama Pondok I'tikaf Jamaah
Ngaji Lelaku, Namanya keren, gelarnya mentereng: Kiai Haji Mochammad
Yusman Roy. Tapi para santri lebih sering memanggilnya Kiai Roy.
Bukan soal penampilan yang jadi perkara. Kehebohan dipicu lantaran cara Yusman Roy, 50 tahun mengajarkan salat kepada anak didiknya. Ia Mewajibkan imam memimpin salat secara dwibahasa: bahasa Arab plus Indonesia. Tempo berkunjung ke Pondok I'tikaf, Rabu pekan lalu. Pesantren yang didirikan sewindu itu berada di atas lahan seluas 400 meter persegi.
Tatkala waktu zuhur tiba, Roy mengajak santri dan keluarganya salat berjamaah di lantai bawah dari bangunan berlantai tiga itu. Setelah mengumandangkan iqamat, Roy mengambil tempat di deretan makmum. Bambang Sutedjo, 53 tahun, salah seorang santri, bertindak, sebagai imam dengan melafalkan bacaan salat secara lantang. Ini beda dengan lazimnya salat zuhur yang jamak dibaca di dalam hati.
Bagi yang tidak biasa salat di sana pasti bakal kagok, sebab setiap kali bacaan salat dalam bahasa Arab selesai, sang imam langsung menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sedangkan makmum tetap menggunakan bahasa Arab.
Salat ala Roy ini membuat gerah sebagian besar ulama. Ustad nyeleneh ini "diadili" dalam sebuah diskusi di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, Sabtu dua pekan lalu. Sekitar seratus peserta dialog mencerca Roy yang datang bersama 10 santrinya.
Roy tak pernah "nyantri" di pesantren. Ia bekas petinju kelas welter ringan pada 1980-an yang di masa mudanya kerap keluar-masuk tahanan polisi. Tapi ia mengaku rajin belajar Quran. Ia berdalih, percuma orang salat jika tak paham arti bacaannya. "Coba tunjukkan ayat Al-Quran yang melarang salat selain bahasa Arab," katanya menantang. Ia mengklaim punya santri sekitar 300 orang yang tersebar di Jawa Timur. Bahkan dia berencana melebarkan sayap mencari pengikut di Kalimantan dan Sumatera.
Bukan soal penampilan yang jadi perkara. Kehebohan dipicu lantaran cara Yusman Roy, 50 tahun mengajarkan salat kepada anak didiknya. Ia Mewajibkan imam memimpin salat secara dwibahasa: bahasa Arab plus Indonesia. Tempo berkunjung ke Pondok I'tikaf, Rabu pekan lalu. Pesantren yang didirikan sewindu itu berada di atas lahan seluas 400 meter persegi.
Tatkala waktu zuhur tiba, Roy mengajak santri dan keluarganya salat berjamaah di lantai bawah dari bangunan berlantai tiga itu. Setelah mengumandangkan iqamat, Roy mengambil tempat di deretan makmum. Bambang Sutedjo, 53 tahun, salah seorang santri, bertindak, sebagai imam dengan melafalkan bacaan salat secara lantang. Ini beda dengan lazimnya salat zuhur yang jamak dibaca di dalam hati.
Bagi yang tidak biasa salat di sana pasti bakal kagok, sebab setiap kali bacaan salat dalam bahasa Arab selesai, sang imam langsung menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sedangkan makmum tetap menggunakan bahasa Arab.
Salat ala Roy ini membuat gerah sebagian besar ulama. Ustad nyeleneh ini "diadili" dalam sebuah diskusi di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, Sabtu dua pekan lalu. Sekitar seratus peserta dialog mencerca Roy yang datang bersama 10 santrinya.
Roy tak pernah "nyantri" di pesantren. Ia bekas petinju kelas welter ringan pada 1980-an yang di masa mudanya kerap keluar-masuk tahanan polisi. Tapi ia mengaku rajin belajar Quran. Ia berdalih, percuma orang salat jika tak paham arti bacaannya. "Coba tunjukkan ayat Al-Quran yang melarang salat selain bahasa Arab," katanya menantang. Ia mengklaim punya santri sekitar 300 orang yang tersebar di Jawa Timur. Bahkan dia berencana melebarkan sayap mencari pengikut di Kalimantan dan Sumatera.
Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur buka suara. Mereka telah
mengeluarkan fatwa haram terhadap ajaran Roy, Februari lalu. Pembacaan
terjemahan dalam salat berjamaah ini dinilai menjelmakan model baru tata
laksana ibadah di luar tuntunan syariat Islam. Walhasil, menyimpang
dari syariat Islam, menyesatkan umat, dan menodai kesucian agama Islam.
Penjelmaan hal baru dalam ibadah mahdlah (murni) tergolong bid'ah
haqiqiyah (bid'ah senyatanya) atau bid'ah dlalalah (bid'ah sesat yang
tertolak).
Majelis para ulama ini tentu punya dalil. Mereka menyitir sabda Rasulullah SAW dalam hadis riwayat Ahmad dan Bukhori, "Salatlah seperti kalian melihat tata cara saya menunaikan salat." Dasar lain yang dijadikan pertimbangan ialah hadis riwayat Bukhori dan Muslim yang artinya: "Dari Risyah RA, beliau berkata, telah bersabda Rasulullah: barang siapa membuat yang baru dalam urusanku, yakni agama ini, yang tidak ada di dalamnya urusanku, maka tertolak."
Toh, ritual pondok tersebut jalan terus. Mereka tetap saja mengaji bersama setiap Jumat siang dan setiap malam purnama yang mereka sebut malam qomariah. Roy juga mengasuh pengajian malam qomariah, yang sering kali diisi konsultasi pelbagai masalah kehidupan. Pria kelahiran Surabaya itu tak lupa menyentilkan argumen ihwal salat bilingual. Jika tak diterjemahkan, maka jamaah banyak tak paham arti bacaannya. "Salatnya menjadi tidak berkualitas," kata kiai yang masuk Islam 30 tahun lalu itu.
Roy terfokus pada salat berjamaah. Imam salat, katanya, wajib tahu dan bertanggung jawab kepada makmumnya menyangkut makna bacaan salat. Kalau salatnya munfarid, dilakukan sendiri-sendiri, dia menyerahkannya kepada masing-masing individu, boleh menerjemahkan, boleh tidak.
Ia menyitir sejumlah surat dalam Al-Quran, antara lain Surat An-Nisa, Surat Ibrahim, dan Surat Al-Ankabut yang menyerukan pentingnya pemahaman bacaan salat.
Diketuk fatwa haram, Roy bergeming. Ia menuding Majelis Ulama bertindak diskriminatif. Ia berulang kali mengirimkan surat ke Majelis, tapi tak pernah ditanggapi. Roy kemudian mengadukan fatwa haram itu ke Presiden dengan tembusan Menteri Agama dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Presiden Yudhoyono lalu memerintahkan Departemen Agama untuk menyelesaikan masalah ini. Sedangkan Komisi Hak Asasi menilai larangan terhadap ajaran Roy melanggar hak asasi manusia. "Saya akan memperjuangkan keyakinan saya, meskipun harus berakhir di penjara," katanya.
Santri pondok idem ditto dengan gurunya. Bambang Sutedjo, misalnya, mengaku menemukan ketenangan setelah berguru pada Kiai Roy sejak tahun lalu. Kala itu kariernya di Departemen Penerangan menjadi kabur setelah Presiden Abdurrahman Wahid membubarkan kantornya. Saat galau itulah ia bertemu Roy. "Kini saya merasa tenang meski diskors kantor saya," katanya. Bambang rajin membagikan selebaran tentang ajaran Roy yang berjudul "Merdeka dan Cara Salat" serta "Mengimami Shalat Berjamaah yang Afdol".
Sikap ngotot ini menimbulkan reaksi sejumlah organisasi di Jawa Timur. Sekitar 15 pria yang mengaku mewakili organisasi Hizbut Tahrir Indonesia, Partai Keadilan Sejahtera, dan Forum Masyarakat Peduli Islam Pasuruan mendatangi pondoknya, Jumat pekan lalu. Mereka meminta Roy menghentikan praktek salat dengan bahasa Indonesia. "Kalau diteruskan, kami tidak bertanggung jawab kalau umat mengambil tindakan sendiri," kata seorang tamu dengan nada mengancam.
Roy menolak. Dia bahkan meminta alasan kuat pelarangan itu berdasarkan Al-Quran dan Al-Hadis. Pertemuan itu langsung menjadi tegang. Pertemuan selama 20 menit akhirnya tak menemukan jalan temu, bahkan perselisihan memuncak. Perselisihan itu terhenti setelah delapan petugas kepolisian yang sejak siang berada di pondok itu membawa Roy ke markas Kepolisian Wilayah Malang, lalu Roy diamankan ke Polres Kabupaten Malang. Sementara itu, para pemuka agama masih silang pendapat. Direktur Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Profesor Syeichul Hadi Purnomo, menyebut Roy telah membalikkan logika. Jika alasannya agar jamaah mengerti arti yang terkandung dalam bacaan salat, maka mereka harus mempelajari sendiri. Ini merupakan keharusan bagi seorang muslim. "Tapi belajarnya bukan pada waktu salat, melainkan di luar salat," kata Syeichul.
Majelis para ulama ini tentu punya dalil. Mereka menyitir sabda Rasulullah SAW dalam hadis riwayat Ahmad dan Bukhori, "Salatlah seperti kalian melihat tata cara saya menunaikan salat." Dasar lain yang dijadikan pertimbangan ialah hadis riwayat Bukhori dan Muslim yang artinya: "Dari Risyah RA, beliau berkata, telah bersabda Rasulullah: barang siapa membuat yang baru dalam urusanku, yakni agama ini, yang tidak ada di dalamnya urusanku, maka tertolak."
Toh, ritual pondok tersebut jalan terus. Mereka tetap saja mengaji bersama setiap Jumat siang dan setiap malam purnama yang mereka sebut malam qomariah. Roy juga mengasuh pengajian malam qomariah, yang sering kali diisi konsultasi pelbagai masalah kehidupan. Pria kelahiran Surabaya itu tak lupa menyentilkan argumen ihwal salat bilingual. Jika tak diterjemahkan, maka jamaah banyak tak paham arti bacaannya. "Salatnya menjadi tidak berkualitas," kata kiai yang masuk Islam 30 tahun lalu itu.
Roy terfokus pada salat berjamaah. Imam salat, katanya, wajib tahu dan bertanggung jawab kepada makmumnya menyangkut makna bacaan salat. Kalau salatnya munfarid, dilakukan sendiri-sendiri, dia menyerahkannya kepada masing-masing individu, boleh menerjemahkan, boleh tidak.
Ia menyitir sejumlah surat dalam Al-Quran, antara lain Surat An-Nisa, Surat Ibrahim, dan Surat Al-Ankabut yang menyerukan pentingnya pemahaman bacaan salat.
Diketuk fatwa haram, Roy bergeming. Ia menuding Majelis Ulama bertindak diskriminatif. Ia berulang kali mengirimkan surat ke Majelis, tapi tak pernah ditanggapi. Roy kemudian mengadukan fatwa haram itu ke Presiden dengan tembusan Menteri Agama dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Presiden Yudhoyono lalu memerintahkan Departemen Agama untuk menyelesaikan masalah ini. Sedangkan Komisi Hak Asasi menilai larangan terhadap ajaran Roy melanggar hak asasi manusia. "Saya akan memperjuangkan keyakinan saya, meskipun harus berakhir di penjara," katanya.
Santri pondok idem ditto dengan gurunya. Bambang Sutedjo, misalnya, mengaku menemukan ketenangan setelah berguru pada Kiai Roy sejak tahun lalu. Kala itu kariernya di Departemen Penerangan menjadi kabur setelah Presiden Abdurrahman Wahid membubarkan kantornya. Saat galau itulah ia bertemu Roy. "Kini saya merasa tenang meski diskors kantor saya," katanya. Bambang rajin membagikan selebaran tentang ajaran Roy yang berjudul "Merdeka dan Cara Salat" serta "Mengimami Shalat Berjamaah yang Afdol".
Sikap ngotot ini menimbulkan reaksi sejumlah organisasi di Jawa Timur. Sekitar 15 pria yang mengaku mewakili organisasi Hizbut Tahrir Indonesia, Partai Keadilan Sejahtera, dan Forum Masyarakat Peduli Islam Pasuruan mendatangi pondoknya, Jumat pekan lalu. Mereka meminta Roy menghentikan praktek salat dengan bahasa Indonesia. "Kalau diteruskan, kami tidak bertanggung jawab kalau umat mengambil tindakan sendiri," kata seorang tamu dengan nada mengancam.
Roy menolak. Dia bahkan meminta alasan kuat pelarangan itu berdasarkan Al-Quran dan Al-Hadis. Pertemuan itu langsung menjadi tegang. Pertemuan selama 20 menit akhirnya tak menemukan jalan temu, bahkan perselisihan memuncak. Perselisihan itu terhenti setelah delapan petugas kepolisian yang sejak siang berada di pondok itu membawa Roy ke markas Kepolisian Wilayah Malang, lalu Roy diamankan ke Polres Kabupaten Malang. Sementara itu, para pemuka agama masih silang pendapat. Direktur Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Profesor Syeichul Hadi Purnomo, menyebut Roy telah membalikkan logika. Jika alasannya agar jamaah mengerti arti yang terkandung dalam bacaan salat, maka mereka harus mempelajari sendiri. Ini merupakan keharusan bagi seorang muslim. "Tapi belajarnya bukan pada waktu salat, melainkan di luar salat," kata Syeichul.
Di lain pihak, ada yang bisa memaklumi ajaran itu. Ketua PB Nahdlatul Ulama, Masdar F. Mas'udi, misalnya. Ia melihat alasannya lebih karena mereka belum mampu memahami makna teks Arab. "Beri mereka kesempatan untuk itu," katanya. Yang penting ada kejujuran ingin memahami bacaan itu. Ia malah berharap agar para ulama mengutamakan bimbingan ketimbang kecaman, sebab Quran menegaskan perlunya dakwah dengan kearifan dan nasihat yang indah.
Tapi sikap ulama Jawa Timur tetap saja keras. Mereka menyerukan agar jamaah Ngaji Lelaku bertaubat, menyadari kekeliruan mereka, dan kembali mengamalkan ajaran tata cara salat sesuai syariat Islam sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad. Masalahnya, fatwa haram itu tidak punya kekuatan untuk menghentikan Roy yang berkeras meneruskan ajarannya. "Itu urusan Departemen Agama," kata Ketua Majelis Ulama Jawa Timur, KH Masduqi Mahfudz.
"Saya
akan memperjuangkan keyakinan saya, meskipun harus berakhir di penjara."
Sumber : TEMPO, 15 MEl 2005 (Hal: 45-46)