“BENARKAH
hadis yang mengatakan bahwa kebanyakan penghuni neraka itu perempuan?"
tanya seorang murid kepada Imam Ja'far. Fakih besar abad kedua hijrah itu
tersenyum. "Tidakkah Anda membaca ayat Quran—Sesungguhnya Kami
menciptakan mereka sebenar-benarnya; Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan,
penuh cinta dan berusia sebaya. Ayat ini berkenaan dengan para bidadari,
yang Allah ciptakan dari perempuan yang saleh. Di surga lebih banyak bidadari
daripada laki-laki mukmin." Secara tidak langsung, Imam Ja'far menunjukkan
bahwa hadis itu tidak benar, bahwa kebanyakan penghuni surga justru perempuan.
Hadis yang
"mendiskreditkan" perempuan ternyata sudah masyhur sejak abad kedua
hijriah. Tapi sejak itu juga sudah ada ahli agama yang menolaknya. Dari Ja'far
inilah lahir mazhab Ja'fari, yang menetapkan bahwa akikah harus sama baik buat
laki-laki maupun perempuan. (Pada mazhab-mazhab yang lain, untuk anak laki-laki
disembelih dua ekor domba, untuk anak perempuan seekor saja). Mengingat
sejarahnya, mazhab Ja'fari lebih tua (karena itu lebih dekat dengan masa Nabi)
daripada mazhab lainnya. Boleh jadi, hadis-hadis yang memojokkan perempuan itu
baru muncul kemudian: sebagai produk budaya yang sangat "maskulin"?
Karena banyak
ayat turun membela perempuan, pada zaman Nabi para sahabat memperlakukan istri
mereka dengan sangat sopan. Mereka takut, kata Abdullah, wahyu turun mengecam
mereka. Barulah setelah Nabi meninggal, mereka mulai bebas berbicara dengan
istri mereka (Buchari). Umar, ayah Abdullah, menceritakan bagaimana perempuan
sangat bebas berbicara kepada suaminya pada zaman Nabi. Ketika Umar membentak
karena istrinya membantahnya dengan perkataan yang keras, istrinya berkata:
Kenapa kamu terkejut karena aku membantahmu? Istri-istri Nabi pun sering
membantah Nabi dan sebagian malah membiarkan Nabi marah sejak siang sampai
malam. Ucapan itu mengejutkan Umar: Celakalah orang yang berbuat seperti itu.
Ia segera menemui Hafsah, salah seorang istri Nabi: Betulkah sebagian di antara
kalian membuat Nabi marah sampai malam hari? Betul, jawab Hafsah (Bukhari).
Menurut
riwayat lain, sejak itu Umar diam setiap kali istrinya memarahinya. Aku
membiarkannya, kata Umar, karena istriku memasak, mencuci, mengurus anak-anak;
padahal semua itu bukan kewajiban dia. Anehnya, sekarang, di dunia Islam, pekerjaan
itu dianggap kewajiban istri. Ketika umat Islam memasuki masyarakat industri, berlipat
gandalah pekerjaan mereka. Berlipat juga beban dan derita mereka. Untuk
menghibur mereka, para mubalig (juga mubaligat) bercerita tentang pahala buat
wanita saleh yang mengabdi (atau menderita) untuk suaminya.
Sekiranya
manusia boleh sujud kepada manusia lain, aku akan memerintahkan istri untuk
sujud kepada suaminya (Hadis 1). Bila seorang perempuan menyakiti suaminya,
Allah tidak akan menerima salatnya dan semua kebaikan amalnya sampai dia
membuat suaminya senang (Hadis 2). Siapa yang sabar menanggung penderitaan
karena perbuatan suaminya yang jelek, ia diberi pahala seperti pahala Asiyah
binti Mazahim (Hadis 3).
Setelah
hadis-hadis ini, para khatib pun menambahkan cerita-cerita dramatis. Konon,
Fatimah mendengar Rasul menyebut seorang perempuan yang pertama kali masuk
surga. Ia ingin tahu apa yang membuatnya semulia itu. Ternyata, ia sangat menaati
suaminya begitu rupa, sehingga ia sediakan cambuk setiap kali ia berkhidmat
kepada suaminya. Ia tawarkan tubuhnya untuk dicambuk kapan saja suaminya
mengira service-nya kurang baik.
Cerita ini
memang dibuat-buat saja. Tidak jelas asal-usulnya. Tapi hadis-hadis itu memang
termaktub dalam kitab-kitab hadis. Hadis 1 diriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud.
Tapi Bukhari (yang lebih tinggi kedudukannya dari Abu Dawud) dan Ahmad
meriwayatkan hadis berikut: Ketika Aisyah ditanya apa yang dilakukan Rasulullah
di rumahnya, ia berkata: "Nabi melayani keperluan istrinya menyapu rumah,
menjahit baju, memperbaiki sandal, dan memerah susu." Anehnya, hadis ini
jarang disebut oleh para mubalig. Karena bertentangan dengan "kepentingan
laki-laki"?
Hadis-hadis
lainnya ternyata dipotong pada bagian yang merugikan laki-laki. Setelah Hadis
2, Nabi berkata, "Begitu pula laki-laki menanggung dosa yang sama seperti
itu bila ia menyakiti dan berbuat zalim kepada istrinya." Dan sebelum
Hadis 3, Nabi berkata, , 'Barang siapa yang bersabar (menanggung penderitaan)
karena perbuatan istrinya yang buruk, Allah akan memberikan untuk setiap
kesabaran yang dilakukannya pahala seperti yang diberikan kepada Nabi
Ayyub." Tapi, begitulah, kelengkapan hadis ini jarang keluar dari khotbah
mubalig (yang umumnya laki-laki).
Maka,
sepeninggal Nabi, perempuan disuruh berkhidmat kepada laki-laki, sedangkan
laki-laki tidak diajari berkhidmat kepada perempuan, Fikih yang semuanya
dirumuskan laki-laki menempatkan perempuan pada posisi kedua. Beberapa gerakan
Islam yang dipimpin laki-laki menampilkan ajaran Islam yang
"memanjakan" laki-laki. Ketika sebagian perempuan muslimat menghujat
fikih yang mapan, banyak laki-laki saleh itu berang. Mereka dituduh agen feminisme
Barat, budak kaum kuffar. Mereka dianggap merusak sunah Nabi.
Nabi saw.
berkata, "Samakanlah ketika kamu memberi anak-anakmu. Bila ada kelebihan,
berikan kelebihan itu kepada anak perempuan." Ketika ada sahabat yang
mengeluh karena semua anaknya perempuan, Nabi berkata, "Jika ada orang
mempunyai anak perempuan saja, kemudian ia memeliharanya dengan sebaik-baiknya,
anak perempuan itu akan menjadi penghalang baginya dari api neraka (Muslim).
Pendeknya, dahulukan perempuan," kata Nabi dahulu. Pokoknya utamakan laki-laki,
teriak kita sekarang .
TEMPO. 6 NOVEMBER 1993 Hal. 97
Dikutif Dari Sumber