Seorang ahli bahasa Semit menyimpulkan bahwa sebagian isi Al-Quran dipengaruhi teks bahasa Aramaik Kristen. Cuma mengulang masalah klasik yang bias?
CITRA kesempurnaan Al-Quran yang absolut dipertanyakan. Kitab suci agama Islam ini sejak berabad-abad lalu diyakini oleh kalangan muslim ortodoks sebagai wahyu Allah yang kandungan dan kalimatnya sempurna tanpa cacat. Karena itu, upaya mempertanyakan kesempurnaannya sering dicap sebagai tindakan kufur dan murtad.
Namun, Islam tak hanya dianut
oleh para pengikut konservatif. Sebagian pemikir Islam yang kritis
berupaya mengkaji asal-usul Al-Quran. Hasilnya, ternyata sebagian besar
kandungan kitab itu merupakan respons terhadap situasi kesejarahan
tertentu. Karena penyusunannya melalui eksperimen panjang, ia tak bersih
dari cacat manusiawi.
Kalangan akademisi di Barat pun
sejak awal abad ke-19 tak henti-hentinya mengkaji asal-usul Al-Quran.
Bahkan di Indonesia, Taufik Adnan Amal, dosen ilmu Al-Quran Institut
Agama Islam Negeri Makassar, pernah meluncurkan buku berjudul
Rekonstruksi Sejarah Al-Quran pada Agustus 2001(lihat: Antara Ajaran dan
Bacaan).
Tampaknya, Al-Quran menjadi obyek
kajian yang tak lekang sepanjang zaman. Baru-baru ini wartawan
Alexander Stiller menurunkan artikel masalah tersebut di koran New York
Times edisi Sabtu, awal Maret 2002. Artikel berjudul Radical New Views of Islam and the Origins of the Koran itu membahas asal-usul Al-Quran, khususnya menyangkut pengaruh bahasa Aramaik Kristen terhadap kitab tersebut.
Artikel itu mengutip pendapat
Christoph Luxenburg, ahli bahasa Semit kuno dari Jerman, yang menyatakan
bahwa Al-Quran telah salah dibaca dan salah diterjemahkan selama
berabad-abad. Pendapat yang memakai referensi "teks-teks dini" Al-Quran
itu juga menyatakan bahwa sebagian isi Al-Quran bersumber—maksudnya, di
pengaruhi dari teks-teks Aramaik periode awal Kristen yang kemudian
disalahtafsirkan oleh ahli-ahli Islam yang menyusun Al-Quran.
Luxenburg mencontohkan ayat yang
menyatakan bahwa para martir (syuhada) akan memperoleh pahala di surga
berupa pasangan bidadari yang perawan. Bagian yang dimaksud itu
termaktub dalam surah Ad dukhaan ayat 54 yang menyebut kata "huur".
Berdasarkan terjemahan Al-Quran yang disahkan Majelis Ulama Indonesia,
konteks ayat itu menyatakan bahwa orang bertakwa akan berada di tempat
yang aman dan, "akan Kami beri mereka pasangan dari bidadari."
Menurut Luxenburg, penerjemahan
huur sebagai bidadari merupakan kesalahan baca terhadap teks yang
dipaksakan. Soalnya, dalam bahasa Aramaik kuno dan paling tidak dalam
sebuah kamus bahasa Arab lama, huur berarti anggur putih. Luxenburg
menafsirkan begitu setelah melacak jejak pengertian surga menurut sebuah
teks Kristen yang disebut Himne Surga karya seorang penulis abad ke-4.
Luxenburg menambahkan bahwa kata
surga diambil dari khazanah kata Aramaik untuk taman dan semua
penjelasan tentang surga yang digambarkan sebagai sebuah taman yang di
dalamnya terdapat air yang mengalir, buah-buahan yang berlimpah, dan
anggur putih suatu kemewahan yang dikenal di Timur Jauh kuno. Dalam
konteks ini, pengertian anggur putih lebih masuk akal ketimbang pahala
berupa kenikmatan seksual. Itu cuma satu contoh dari Luxenburg,
sebagaimana disitir oleh Alexander Stiller. Berarti isi Al-Quran yang
ditahbiskan suci oleh umat Islam itu mengandung cacat alias kekeliruan,
padahal pesan agama itu sudah ditradisikan dari zaman ke zaman?
Menurut Dr. Yusuf Rahman, dosen
metode tafsir AI-Quran di Universitas Agama Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, Jakarta, pengaruh bahasa Aramaik terhadap Al-Quran bisa
saja terjadi. Kebanyakan ulama toh mengakui bahwa Al-Quran menyerap juga
kata-kata asing. Cendekiawan Dr. Nurcholish Madjid dalam artikel di
kios internet Jaringan Islam Liberal juga mengakui bahwa Al-Quran
menyerap bahasa-bahasa lain, misalnya shiraath (bahasa Latin), qisth (bahasa Yunani), dan kafur (bahasa Melayu).
Karenanya,
Yusuf sependapat bila bahasa Aramaik dijadikan salah satu referensi.
Namun, ia masih meragukan pengertian huur sebagai anggur putih seperti
dicontohkan Luxenburg. Bahkan Yusuf belum bisa menerima sepenuhnya tesis
Luxenburg. "Untuk sampai pada kesimpulan seperti itu, Luxenburg perlu
mengumpulkan data lebih banyak," kata Yusuf.
Alasan Yusuf,
pendapat Luxenburg didasarkan pada manuskrip Al-Quran yang ditemukan di
Sana'a, Yaman, pada 1972. Naskah ini, yang kemudian dikopi dalam bentuk
mikrofilm sebanyak 35 ribu lembar oleh Gerd-R. Puin dan H.C. Graf Von
Bothmer, periset dari Universitas Saarland Jerman pada 1997, seperti
ditulis majalah The Atlantic Monthly, diperkirakan berasal dari
manuskrip abad ke-7 dan ke-8 Masehi. Namun, pendapat intelektual muda
Islam, Taufik Adnan Amal, lain lagi. Taufik menduga langkah Luxenburg
merupakan upaya membaca Al-Quran menurut bahasa Aramaik. "Ia melihat
bacaan Al-Quran yang mengandung zero Aramaic reading Al-Quran,"
ujar Taufik. Tapi, klaim Luxenburg bahwa bacaan Al-Quran sangat
terpengaruh oleh tradisi tekstual dari Kristen Suriah, tutur Taufik,
harus dicermati secara kritis. Sebab, "Itu masalah klasik," ucapnya.
Maksudnya, itu bias masa Perang Salib dulu.
Antara Ajaran dan Bacaan
Christoph Luxenburg, ahli bahasa Semit kuno dari Jerman, menyatakan bahwa AI-Quran telah salah dibaca dan salah diterjemahkan selama berabad-abad.
TAUFIK Adnan Amal, 39 tahun, adalah salah seorang intelektual muda Islam yang bergumul dengan kajian kritis Al-Quran. Bukunya yang berjudul Rekonstruksi Sejarah Al-Quran terbitan Forum Kajian Budaya dan Agama Yogya, tahun 2001, disambut dengan antusias oleh komunitas Jaringan Islam Liberal, yang di antaranya bermarkas di Utankayu, Jakarta.
Salah satu pesan buku yang
merupakan hasil riset serius dan mendalam itu adalah perlunya upaya
desakralisasi terhadap teks Al-Quran. Alasannya, Al-Quran dalam bentuk
sekarang—edisi standar Mesir tahun 1923—tetaplah produk budaya manusia
yang terbuka untuk direvisi. Berikut wawancara Syarif Amir dari TEMPO
dengan Taufik.
Sejak kapan kajian kritis terhadap Al-Quran dimulai?
Sebenarnya
kecenderungan membuat edisi kritis Al-Quran sudah ada sejak abad
pertengahan. Upaya yang paling menyeluruh dan sangat akademis baru
dilakukan pada abad ke-19, ketika Gustaf Fluegel dari Jerman membuat
satu edisi Al-Quran dengan meramu bacaan-bacaan tujuh yang ada di dalam
Al-Quran. Tapi karya yang menjadi rujukan utama di Barat hingga awal
l970-an itu tak sejalan dengan teks dalam dunia Islam.
Adakah kesamaan antara tesis Luxenburg dan riset Anda?
Ada
perbedaannya, karena riset saya tentang sejarah Al-Quran, Tapi tentu
ada implikasi ke arah tesis Luxenburg. Sebab, riset saya menemukan pula
bahwa pada mulanya teks Al-Quran di kalangan umat Islam juga beragam,
kemudian mengalarni proses penunggalan.
Seberapa banyak teks Al-Quran yang mengalami kesalahan baca?
Tentang
kesalahan baca, saya tidak melakukan riset tersendiri, Tapi, dalam
tradisi Islam, kesalahan baca itu maksudnya keliru membaca atau
mengucapkan, yang akan mempengaruhi maknanya.
Tapi Tuhan kan menjamin kesahihan Al-Quran sepanjang masa?
Ya,
itu menurut doktrin yang umumnya dianut umat Islam. Tapi kan perlu
dipertanyakan keabsahan dalam hal apa, apakah ajarannya atau kalimatnya.
Dalam hal bacaan, kita masih dapat bertengkar. Dalam qiraat (bacaan)
tujuh saja, kita hanya menerima satu versi. Kenapa yang lain tak
dipelihara oleh Tuhan dan hanya satu yang terus dipelihara secara resmi
oleh kaum ortodoks Islam?
Apa dampak dari riset keauntetikan Quran?
Ini
sama sekali tidak menyangkut keautentikan Al-Quran. Kita hanya
mengatakan bahwa awalnya isi Al-Quran itu sangat majemuk. Itulah yang
kita telusuri ulang.
Jadi, tak berdampak sama sekali?
Dampaknya,
karena ada edisi tunggal ini. Jadi, kalau dengan satu edisi saja sudah
banyak tafsir, bagaimana kalau ada edisi lain? Pasti akan lebih banyak
tafsir. Di masa Islam awal, hal ini juga pernah menjadi masalah. Tapi
sekarang bukan lagi zaman untuk mengunggulkan satu gagasan dibandingkan
dengan gagasan lain.
Jadi, keragaman itu akan menguatkan posisi Al-Quran?
Kalau saya melihatnya seperti itu.
Al-Quran versi mana yang dipakai di dunia Islam?
Al-Quran terbitan Mesir pada 1923 menjadi panutan muslim di dunia Timur dan bahkan kemudian menggeser peran mushaf (naskah) Fluegel, yang sebelumnya begitu dikenal di Barat. Jadi, orang tidak lagi menganut mushaf Fluegel, dengan alasan mushaf Usmani dari Mesir itu lebih universal di dunia Islam.
Sumber : TEMPO, 24 MARET 2002 (Hal 46-47)
Dikutif Dari Sumber